Archive | August 2013

Bukan Demokrasi Twitter, Tuan Presiden

Twitter SBY

Oleh: Firdaus cahyadi

 Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mungkin akan dicatat dalam sejarah sebagai salah satu presiden yang gaul. Bagaimana tidak, selain pandai bermain musik, Presiden SBY akhirnya secara resmi juga membuka akun twitter. Sebelumnya beberapa pejabat penting di negara lain juga sudah memiliki akun twitter. Begitu pula beberapa tokoh politik di dalam negeri. Seperti biasanya, akun twitter SBY langsung dibanjiri follower.

Langkah Presiden SBY untuk membuka akun twitter ini dapat dinilai sebuah langkah yang tepat. Bagaimana tidak, jumlah pengguna internet di Indonesia melonjak dari tahun ke tahun. Menurut Buku Putih Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) 2010, pada tahun 2007,  prosentase keluarga Indonesia yang memiliki akses internet sebesar 5,58 persen. Dan pada tahun 2008 meningkat menjadi 8,56 persen. Sementara menurut Plt Dirjen Postel Muhammad Budi Setiawan, seperti ditulis oleh detik.com Juni 2010, mengungkapkan bahwa jumlah pengguna internet di Indonesia telah mencapai angka 45 juta.

Peningkatan yang sama juga terjadi pada pengguna sosial media di internet. Data per tanggal 15 April 2013, seperti ditulis dalam http://www.socialbakers.com/facebook-statistics/indonesia  terdapat 48.191.160 pengguna facebook di Indonesia. Menurut web tersebut Indonesia berada di urutan ke 4 di dunia. Sementara menurut Snapshot of Indonesia Social Media Users – Saling Silang Report Febuari 2011, menyebutkan bahwa data per Januari 2011, terdapat 4.883.228 account twitter dan 22.101.125 jumlah tweet (kicauan di twitter) di Indonesia.

Pertanyaan berikutnya tentu saja adalah, apakah dengan hadir di twitter ini Presiden SBY dapat memperoleh informasi bermutu sehingga dapat mengambil keputusan yang bermanfaat bagi masyarakat? Jawabannya adalah belum tentu. Bahkan jika Presiden SBY menjadikan informasi yang diperoleh dari twitter ini sebagai rujukan utama bisa jadi kebijakan atau keputusan yang akan ia ambil akan bias kepentingan kelas menengah-atas, dan mengabaikan kepentingan masyarakat kelas menengah-bawah, utamanya mereka yang berada di Indonesia Timur.

Tidak dapat dipungkiri bahwa sebagian besar pengguna internet, termasuk twitter, adalah mereka yang berasal dari kalangan kelas menengah-atas. Biasanya mereka mengakses twitter dari handphone dan smartphone. Dan kebanyakan pengguna twitter adalah orang-orang yang tinggal di Indonesia Barat, khususnya lagi Pulau Jawa.

Lihat saja data yang diungkap oleh Saling Silang Report pada Febuari 2011 silam, yang menyebutkan bahwa pengguna facebook didominasi dari Jakarta (50.33%), kemudian disusul dari Bandung (5,02%), Bogor (3,23%), Yogyakarta (3,09%). Lantas bandingkan dengan pengguna Facebook di Jayapura (0,12%), Menado (0,10%), Ternate (0,03%). Sebuah perbandingan yang timpang.

Begitu pula produksi tweet (kicauan) di Twitter. Tweet yang diproduksi dari Jakarta mendominasi seluruh tweet dari Indonesia. Tweet yang diproduksi dari Jakarta sebesar 16,33%, dari Bandung 13,79%, dari Yogyakarta 11,05%, dari Semarang 8,29% dan dari Surabaya 8,21%. Bandingkan tweet yang diproduksi dari Palu hanya 0,71%, Ambon 0,35% dan Jayapura 0,23%.

Hal itu terjadi karena infrastruktur telematika masih terpusat di Indonesia Barat, khususnya Jawa. Sebanyak 65,2% infrastruktur backbone serat optik terkonsentrasi di Jawa, kemudian diikuti oleh Sumatera (20,31%) dan Kalimantan (6,13%). Wilayah Indonesia timur (Nusa Tenggara, Maluku dan Papua) belum terjangkau infrastruktur ini. Pengertian backbone sendiri adalah saluran atau koneksi berkecepatan tinggi yang menjadi lintasan utama dalam sebuah jaringan.

Jangankan akses terhadap internet, akses masyarakat terhadap telekomunikasi secara keseluruhan pun menunjukan ketimpangan. Dalam buku putih ICT (Information and Communication Technology) tahun 2010 menyebutkan bahwa sebagian besar distribusi kepemilikan telepon kabel (84,79%) maupun bergerak (81,57%) di dominasi oleh penduduk di Jawa dan Sumatera (Kawasan Indonesia Barat), sisanya tersebar di wilayah Sulawesi, Kalimantan, Bali-Nusa Tenggara (Indonesia tengah), Maluku dan Papua (Indonesia Timur).

Sayangnya lagi, pengguna sosial media di internet yang didominasi oleh penduduk Indonesia Barat itu juga seringkali tidak memperbincangkan topik persoalan yang secara substantif terkait dengan kepentingan masyarakat umum dan alternatif. Penelitian Merlyna Liem, seorang peneliti new media dari Arizona State University, mengungkapkan bahwa topik yang ramai dibicarakan oleh pengguna twitter di Indonesia adalah persoalan gaya hidup dan isu yang sebelumnya telah diberitakan oleh media massa arus utama (mainstream).

Artinya, topik pembicaraan yang ada di sosial media, termasuk twitter, selain bias kelas menengah-atas, juga banyak yang sekedar meneruskan pemberitaan media arus utama. Padahal sudah menjadi rahasia umum, bahwa media massa arus utama telah dikendalikan oleh segelintir pemilik modal. Dan sebagian pemilik modal yang mengendalikan media massa arus utama itu juga pelaku politik dan memiliki bisnis yang rentan konflik dengan masyarakat, seperti bisnis tambang dan perkebunan skala besar.

Menurut penelitian Centre for Innovation Policy and Governance (CIPG) tahun 2012 lalu, dari sekian banyak media massa arus utama yang ada di Indonesia, ternyata hanya dikendalikan oleh 12 group media besar (Mapping the Landscape of The Media Industry in Contemporary Indonesia). Dari 12 group perusahaan media massa itu, 10 group memiliki televisi. Bahkan ada sebuah group perusahaan yang memiliki 20 channel televisi. Sebanyak 6 group perusahaan media memiliki radio. Sebanyak 9 group memiliki koran atau majalah cetak. Dan 8 group memiliki media online.

Singkat kata, apa yang dilakukan oleh Presiden SBY dengan membuka akun twitter ini perlu mendapatkan apresiasi. Tapi kita juga perlu mengingatkan Presiden SBY, bahwa informasi yang ada di twitter belum tentu mencerminkan persoalan yang ada di lapangan. Persoalan yang menyangkut kepentingan masyarakat kelas menengah-bawah dan warga Indonesia Timur seringkali justru tidak muncul di media sosial seperti twitter. Presiden SBY masih tetap perlu blusukan atau turun ke lapangan mendengar dan melihat sendiri persoalan yang dihadapi masyarakat kelas menengah-bawah dan warga di kawasan Indonesia Timur. Karena bagaimanapun juga demokrasi di Indonesia bukanlah demokrasi twitter.

 

Untuk donasi pengelolaan blog Suara Warga Negara silahkan klik https://suarawarganegara.wordpress.com/donasi-publik/