Archive | August 2013

Emil Salim Yang Tidak Kita Kenal

emil salim

sumber foto: http://www.tempo.co/read/news/2010/10/27/173287505/Emil-Salim-Terima-Penghargaan-Aneka-Hayati-di-Jepang

Oleh: Firdaus Cahyadi

Siapa tak kenal Emil Salim? Rasanya hampir semua orang Indonesia ini kenal dengan beliau. Bahkan namanya pun terkenal di seluruh dunia. Ya, Emil Salim adalah seorang pakar ekonomi yang kemudian tertarik dan akhirnya menjadi ‘pendekar’ lingkungan hidup.

Namun, akhir-akhir ini  publik pantas terkejut karena Emil Salim diberitakan oleh berbagai media menerima Bakrie Award. Di Kompas (26/8), diberitakan bahwa Pak Emil Salim tidak menolak penghargaan Bakrie Award itu tapi menunda penerimaannya karena sekarang masih menjabat sebagai Ketua Dewan Pertimbangan Presiden.

Menerima atau menolak penghargaan Bakrie Award adalah hak mutlak Emil Salim sebagai individu. Namun, sebagai seorang pendekar lingkungan hidup tentu Pak Emil Salim mengikuti perkembangan salah satu tragedi ekologi terbesar di Indonesia, bahkan mungkin di dunia. Tragedi ekologi itu bernama semburan lumpur Lapindo di Sidoarjo.

Sebagai seorang pendekar lingkungan hidup, tentu Pak Emil Salim mengetahui bahwa hingga tujuh tahun lebih kasus semburan lumpur Lapindo, belum ada pihak yang bertanggungjawab atas rehabilitasi ekologi yang telah hancur di kawasan itu.

Mengejutkan memang, tapi itulah kenyataan pahit yang harus kita terima. Dengan menerima Bakrie award, kita seperti tidak lagi mengenal sosok Emil Salim yang menjadi pendekar lingkungan. Bisa saja kedepan akan banyak sisi lain kehidupan Emil Salim yang mengejutkan dan tidak seperti kita kenal sebelumnya. Mungkin sejak menerima Bakrie Award, Emil Salim akan menjadi sosok yang asing bagi kita.

 

Kembali Ke Pesantren

Oleh Asri Al Jufri

 

Pada peringatan Hari Lahir (Harlah) Nahdatul Ulama (NU) ke-90, 27 Mei 2013, Ketua Umum Pengurus Besar NU (PBNU) Said Aqil Siradj mencanangkan agar NU kembali ke pesantren. Menurutnya, pesantren merupakan pusat pendidikan yang telah banyak melahirkan pemimpin bangsa.

Himbauan Said itu agaknya bukan hanya berlaku bagi warga NU tetapi juga perlu disimak oleh seluruh umat Islam di negeri ini. Kenapa? Karena pesantren merupakan lembaga pendidikan yang menawarkan “menu yang lengkap” yang diharapkan mampu mengantarkan anak didik sebagai pribadi yang utuh. Pendidikan yang ditawarkan pesantren tidak hanya bertujuan untuk mengasah kecerdasan intelektual, tetapi juga dalam pengembangan kepribadian dan pola pikir yang Islami.

Pendidikan yang ditawarkan pesantren merupakan pendidikan “plus” yang tidak hanya berwawasan kebangsaan atau berwawasan internasional (RSBI dan SBI), tetapi juga berwawasan dunia akhirat. Suatu pola pendidikan yang tidak hanya bertujuan untuk meraih kesejahteraan di dunia, tetapi juga meraih keselamatan di akhirat.

Karena itu, pola pendidikan pesantren merupakan pola pendidikan yang unggul, karena memiliki beberapa kelebihan dibandingkan dengan pola pendidikan lain, tak terkecuali pendidikan yang dilakukan pemerintah melalui sekolah-sekolah negeri yang sekarang banyak digandrungi masyarakat. Ada beberapa keunggulan pesantren dibandingkan sekolah lainnya:

 

  1. 1.    Kurikulum yang lengkap

 

Umumnya pendidikan di pesanteren sekarang telah memadukan antara kurikulum umum dari Kementerian Pendidikan Nasional dan kurikulum ke-Islaman dari Kementerian Agama. Pesantren jenis ini dikenal dengan istilah Pesantren Modern. Berbeda dengan pesantren salafi yang murni mengajarkan masalah fiqih dan ibadah. Sekarang ini para pengelola pesantren semakin menyadari akan pentingnya pengetahuan umum sebagaimana diajarkan di sekolah-sekolan negeri dan sekolah umum lainnya.

Pendidikan di pesantren umumnya dilakukan selama enam tahun, yaitu sewaktu SLTP (MTs) dan SLTA (MA). Setelah selesai Madrasah Aliyah (MA), baru para siswa meneruskan ke perguruan tinggi. Mereka bisa mengambil jurusan ke-Islaman yang banyak ditawarkan Perguruan Tinggi Islam (UIN/IAIN) atau jurusan umum (tehnik, kedokteran, komputer, akutandi dll) di Perguruan Tinggi Negeri (PTN).

Dengan bekal pengetahuan ke-Islaman, para alumni pesantren ini justru mempunyai kelebihan tersendiri. Mereka bisa menjadikan nilai-nilai ke-Islaman sebagai pondasi dan rujukan dalam pengembangan ilmu yang mereka tekuni. Pola pikir seperti ini tidak dimiliki oleh mereka yang hanya dididik di  sekolah umum.

Sudah tentu menjadi kebanggaan tersendiri menyaksikan putra-putri kita yang telah menyelesaikan pendidikan di perguruan tinggi terkemuka dan siap menekuni karier sebagai seorang professional, tetapi juga mampu mengembangkan pengertahuannya dengan merujuk pada ajaran Islam serta tetap menjaga ahlak Islami. Dengan demikian diharapkan akan lahir generasi penerus dan pemimpin umat yang cerdas dan profesional, sebagai  mengemban  tugas kekhalifahan  di  bumi ini.

 

  1. 2.    Kegiatan ekstra kurikuler

 

Kelengkapan yang ditawarkan pesantren tidak hanya menyangkut kurikulum atau mata pelajaran yang dilakukan di kelas, tetapi juga pada kegiatan ekstra kurikuler. Kegiatan ekstra kurikuler ini terkait erat dengan pengembangan kepribadian dan berbagai ketrampilan lain yang sangat dibutuhkan guna menunjang kesuksesan masa depan anak.

Beberapa kegiatan ekstra kurikuler yang umumnya tersedia di pesantren antara lain: kegiatan olahraga (permainan, beladiri dll), kegiatan seni (teater,  musik,  vocal dll), baca Al-Qur’an, bahasa (Arab, Inggris, menulis dll), kepemimpinan (pidato/ceramah, organisasi, paskibraka, pramuka dll).

Dengan adanya berbagai kegiatan ekstra kulikuler  ini,  para orangtua tidak perlu lagi menyuruh anaknya untuk belajar mengaji di masjid, atau mengikuti kegiatan kursus di luar rumah, yang itu sering  dilakukan bila anak  sekolah di sekolah umum. Ibarat supermarket, pesantren telah menyediakan semua yang kita butuhkan. Kita tidak perlu lagi belanja di toko lain, karena pesantren menerapkan one stop service. Dijamin lebih murah, lebih efektif dan efisien.

 

  1. 3.    Pembinaan 24 jam

 

Salah satu kelebihan pesantren karena adanya pembinaan selama 24 jam. Pihak pesantren telah mecancang jadwal aktivitas sedemikian rupa mulai dari bangun pagi hingga tidur di malam hari. Setiap anak tinggal mengikuti jadwal yang telah ditentukan, mulai dari jadwal belajar, bermain, ibadah, istirahat, makan dll.

Satu hal yang menyenangkan bahwa dalam semua kegiatan itu, seorang anak melakukannya bersama-sama dengan teman-temannya. Suasana itu  agak berbeda kalau anak sekolah di sekolah umum, yang hanya berlangsung  setengah hari, dimana interaksi anak dengan temannya sangat terbatas. Teman sewaktu sekolah, berbeda dengan teman dalam bermain setelah pulang dari sekolah.

Dengan adanya pengawasan selama 24 jam, diharapkan perkembangan kepribadian anak akan lebih baik dibandingkan dengan anak yang hanya diawasi pada saat-saat tertentu atau malah terlepas sama sekali dari pengawasan orang tuanya. Bagi orangtua yang tidak mampu mengawasi  keseharian putra-putrinya, tentu pendidikan di pesantren ini bisa menjadi salah satu alternatif. Lebih lagi bagi orang tua yang semuanya (suami-sitri) bekerja, sehingga nyaris tak mempunyai waktu untuk mengaswasi putra-putrinya. Andaikan seorang istri tidak bekerja dan tetap berada di rumah, belum tentu juga  bisa mengawasi anaknya. Sebab, kita tidak tahu apa yang dilakukan anak-anak  saat bermain di luar rumah.

Dengan pengawasan yang intensif melalui para pembina di pesantren, diharapkan anak-aknak kita terhindar dari perilaku negatif yang sering terjadi di kalangan pelajar. Kita sering mendengar terjadinya tawuran pelajar, pergaulan bebas dan pornografi, penggunaan narkoba dan rokok, dan berbagai tindak negatif lainnya.

 

  1. 4.    Lebih praktis dan efisien

 

Pendidikan anak menjadi tanggung jawab dan kewajiban setiap orang tua. Agar kewajiban itu bisa terlaksana dengan baik, tidak salah kalau orang tua memanfaatkan jasa dari para akhli yang memang fokus di bidang tersebut.  Terlebih bagi orang tua yang memang kondisinya tidak memungkinkan untuk melaksanakan tugas dan tanggung jawab itu dengan baik, misalkan karena suami-istri  terpaksa harus bekerja.

Pendidikan di pesantren merupakan salah satu pilihan tepat sekaligus lebih praktis dan relatif lebih efisien dalam menyediakan pendidikan yang berkualitas bagi generasi muda kita. Dikatakan praktis karena semuanya sudah tersedia  dalam kualitas dan kuantitas yang memadai. Dan, anak didik juga tidak perlu terlalu repot untuk menyediakan waktu khusus guna mencari tambahan ilmu di lembaga atau komunitas lain. Pihak pesantren sudah menyediakan semuanya.

Karena lebih prakstis, tentunya lebih efisien baik dari segi waktu maupun biaya. Sebab, apa yang kita bayar ke pesantren setiap bulannya, sudah mencakup biaya pendidikan, asrama, makan, dan berbagai biaya lainnya. Sudah tentu dibutuhkan kejelian dari setiap orangtua dalam memilih pesantren, agar sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan.

 

  1. 5.    Tips memilih pesantren

 

Sekarang ini, pesantren sudah ada dimana-mana. Lebih lagi di Pulau Jawa, dimana  hampir setiap kecamatan ada pesantren. Namun dari sekian banyak pesantren tersebut, harus dipertimbangkan mana yang paling cocok untuk anak kita. Ada beberapa tips dalam memilih pesantren.

 

  1. Sistem dan kualitas pendidikan.

Pilihlah pesantren yang telah menerapkan kurikulum dari Kementerian Pendidikan Nasional (Diknas) dan kurikulum dari Kementerian Agama (Kemenag). Dari kurikulum Diknas dimaksudkan agar anak kita bisa meneruskan pendidikan pada jurusan umum di PTN, sedangkan dari kurikulum Kemenag dimaksudkan untuk mendapatkan pengetahuan dan wawasan ke-Islaman yang lebih baik sebagai landasan dalam seluruh aspek kehidupan.

Untuk mengetahui kualitas suatu pesantren bisa dilihat dari para alumninya, sejauhmana mereka bisa menembus beberapa PTN terkemuka. Informasi itu bisa dipelajari dari website, dari para alumni, para orangtua, dan  masyarakat sekitarnya.

 

  1. Faktor biaya

Faktor biaya menjadi salah satu pertimbangan penting dalam memilih pesantren. Sekarang ini banyak bermunculan pesantren modern yang menawarkan kualitas dan fasilitas yang prima, dengan biaya yang cukup mahal. Pesentren jenis ini tentu mempunyai “segmen pasar” tersendiri, yaitu mereka yang memang berpenghasilan tinggi. Ada juga pesantren yang menawarkan biaya murah, tetapi dengan kondisi bangunan dan fasilitas yang sederhana. Tenaga pengajar dan kualitas pendidikan yang juga  seadanya.

Bagi mereka yang terbatas kemampuan ekonominya, pilihlah pesantren yang kondisi dan kualits pendidikannya memenuhi standar, namun dengan biaya yang masih terjangkau. Sebagai patokan, untuk pesantren jenis ini, biaya perbulan berkisar antara Rp 500 ribu hingga Rp 1 juta, dengan uang pangkal antara Rp 3 juta hingga Rp 6 juta.

 

  1. Faktor lokasi

Faktor lokasi juga perlu dipertimbangkan, terutama terkait jangkauan pada saat melakukan kunjungan. Lebih lagi pada saat awal anak berada di pesantren, dimana orangtua biasanya akan lebih sering melakukan kunjungan, bisa mingguan, dua mingguan, bulanan dst. Sebaiknya memilih pesantren yang bisa dijangkau dalam kunjungan harian atau setengah harian. Kalau lokasi pesantren terlalu jauh dimana dalam setiap  kunjungan harus menginap, tentu cukup merepotkan. Dengan semakin menyebarnya lokasi pesantren, pilihan semakin banyak. Bagi  mereka yang tinggal di Bogor, misalnya, banyak pesantren yang bisa dijangkau hanya dalam waktu satu jam dengan menggunakan kendaraan umum. Bagi mereka yang tinggal di Jabodetabek, tidak perlu terlalu jauh mengirim anaknya ke Jawa Tengah atau Jawa Timur, karena itu akan merepotkan diri sendiri. Kecuali kalau memang ada pertimbangan khusus.

Terkait lokasi, perlu dilihat aksesnya dari jalan raya, serta jangkauan bila  menggunakan kendaraan umum. Sebaiknya melakukan survey terlebih dahulu guna mengetahui situasi dan kondisi lingkungan, sarana dan prasarana yang dimiliki, serta informasi lainnya.

 

Apabila dari segi sistem dan kualitas pendidikan, faktor biaya dan lokasi sudah diketahui, tinggal menentukan pesantren mana yang akan dipilih. Kita berharap dengan mengirimkan putra-putri kita ke pesantren, akan lahir generasi baru yang memiliki kualits lebih baik dibandingkan generasi kita saat ini, sekaligus sebagai wujud tanggung jawab kita dalam menjaga dan mewariskan ajaran Islam kepada generasi penerus. Semoga  Allah meredhoi segala niat baik kita. Amien.

*) Penulis adalah fungsionaris Pengurus Besar Persatuan Tarbiyah Islamiyah (PB Tarbiyah).

Hari Ini (20/8) Koran TEMPO Publikasi Berita tentang Dugaan

koran TEMPO

Oleh: Dody Agus Prabowo <dody(dot)agus_pxxxx@gmail(dot)com>

Tugas wartawan adalah melakukan verifikasi atas informasi yang diterimanya. Itu adalah salah satu materi pelatihan jurnalistik dasar saat penulis masih kuliah, sekitar tahun 2000-an. Konsekuensi dari tugas verifikasi itu adalah seorang jurnalis ‘haram’ mempublikasikan berita yang sifatnya masih dugaan. Karena berita yang masih bersifat dugaan itu belum tentu benar. Bahkan bisa dikatakan baru rumor atau jika tidak hati-hati bisa menjurus ke fitnah. Tugas jurnalis adalah mencari kebenaran dari informasi yang bersifat dugaan itu. Jika dugaan itu sudah dibuktikan kebenaran atau kesalahannya, jurnalis baru menuliskannya di media massa agar masyarakat mengetahuinya.

Namun, penulis tidak tahu apakah sekarang tugas jurnalis untuk melakukan verifikasi itu sudah berubah atau belum. Pasalnya, hari ini (20/8/2013), Koran TEMPO menuliskan dua berita yang masih bersifat dugaan.  Berita pertama berjudul, “Rudi Diduga Jaringan Makelar” (lihat di link ini).  Sedangkan berita kedua berjudul, “BMW Diduga Bagian dari Suap untuk Rudi” (lihat di link ini).

Ada dua pertanyaan dari berita di Koran TEMPO yang masih bersifat dugaan itu. Pertama, bagaimana seandainya dugaan-dugaan dalam berita itu tidak benar, sementara berita sudah terlanjur tersebar luas?

Kedua, penulis dulu pernah membaca buku tentang analisa framing berita (penulis lupa judul dan pengarangnya). Dalam buku itu ditulis bahwa pemilihan kalimat pasif dalam sebuah judul bukan sebuah kebetulan, namun merupakan pilihan sadar. Menurut buku itu kalimat pasif yang dipilih dalam judul berita biasanya bertujuan untuk menyembunyikan pelaku. Seperti misalnya dalam judul, “Mahasiswa Dipukuli saat Unjuk Rasa di DPR”. Siapa yang memukuli mahasiswa, tentara, polisi, atau satpam? Tidak jelas, karena pelaku pemukulannya tidak diungkap atau disembunyikan dalam judulnya.

Hal yang sama juga terjadi pada kedua judul berita di Koran TEMPO di atas  (“Rudi Diduga Jaringan Makelar” dan “BMW Diduga Bagian dari Suap untuk Rudi”). Siapa yang menduga-duga dalam berita tersebut di atas? Kenapa pihak yang menduga-duga dalam berita tersebut di atas tidak ditampilkan saja di judul berita, misalnya; “Si-A Menduga Rudi Jaringan Makelar”. Kenapa pelaku yang menduga-duga itu harus disembunyikan dalam judul berita? Sekedar teknik penulisan atau memang ada hidden agenda (agenda tersembunyi) berupa penggalangan opini publik dari pemunculan berita itu? Jika benar ada hidden agenda, pertanyaan berikutnya adalah hidden agendanya siapa atau siapa yang diuntungkan dari hidden agenda tersebut?

Jawaban pastinya hanya Koran TEMPO yang tahu. Yang jelas sebagai masyarakat pembaca media, kita harus kritis terhadap setiap pemberitaan media. Media massa adalah pilar demokrasi keempat. Jangan sampai pilar itu runtuh karena kepentingan kekuasaan, baik kekuasaan politik atau modal, yang menurunkan kualitas pemberitaannya. Kita harus jaga bersama media sebagai pilar demokrasi keempat. Selamat membaca.

****

Jika ingin memberikan donasi kepada Media Suara Warga Negara, silahkan klik https://suarawarganegara.wordpress.com/donasi-publik/

Soal Pencapresan Wiranto dan HT (Tanggapan tulisan Asri Al Jufri)

215625_hanura

Oleh: Firdaus Cahyadi

Di media Suara Warga Negara, Asri Al Jufri menulis artikel yang berjudul Deklarasi Wiranto-HT dan Kemandirian Partai Politik (https://suarawarganegara.wordpress.com/2013/08/19/deklarasi-wiranto-ht-dan-kemandirian-partai-politik/). Pada tulisan tersebut, saudara Asri membahas kaitan antara deklarasi  pencapresan Wiranto dan HT dan dampak positifnya bagi kemandirian partai.  positif  Asri menyambut positif pencapresan Wiranto-HT. Dalam artikelnya ia menuliskan, “Langkah seperti ini memang seharusnya dilakukan oleh semua partai terutama partai-partai kecil yaitu sejak awal sudah ada kejelasan mengenai siapa capres dan cawapresnya”

Penulis ingin menanggapi artikel Asri tersebut dengan prespekatif yang lebih luas dari sekedar pemenangan pemilu 2014. Penulis ingin menanggapinya dalam prespektif masa depan demokrasi Indonesia dalam jangka panjang. Ada beberapa hal yang perlu dicermati dengan pencapresan Wiranto-HT ini.  Pertama, soal regenerasi kepemimpinan masa depan. Wiranto adalah seorang jenderal TNI. Ia sudah malang melintang di pemerintahan. Wiranto lahir tahun 1947 (http://id.wikipedia.org/wiki/Wiranto). Artinya usianya sudah lebih dari 60 tahun. Pertanyaannya adalah, kenapa dengan usia yang lebih dari 60 tahun, beliau masih mencalonkan diri sebagai Presiden RI. Apakah tidak ada kader Partai Hanura yang masih muda, usia di bawah 50 tahun atau paling tidak 60 tahun yang berpotensi menjadi Presiden RI? Keinginan Wiranto untuk maju lagi menjadi Capres di Pemilu 2014, bisa menjadi ganjalan bagi orang-orang muda untuk tampil menjadi pemimpin masa depan. Alangkah eloknya bila Wiranto yang sudah sepuh (tua) mempersilahkan kaum muda untuk maju menjadi pemimpin. Tugas beliau untuk terjun langsung di pemerintahan sudah cukup. Saatnya anak-anak muda yang mengambil tongkat estafet kepemimpinan.

Kedua, pilihan untuk menggandeng Hary Tanoesoedibjo (HT) juga harus dikritisi. Sudah menjadi rahasia umum bahwa HT adalah pemilik bisnis jaringan media. Jika nanti pasangan Wiranto-HT berhasil menjadi Presiden dan Wakil Presiden di tahun 2014, apakah tidak berpengaruh terhadap media-media massa arus utama di bawah group bisnis HT? Jika HT menjadi Wapres, mungkinkan media-media di bawah group bisnisnya akan kritis terhadap pemerintah? Padahal media harus tetap mengontrol pemerintah, disamping mengontrol kekuasaan lainnya.

*****

Jika ingin memberikan donasi kepada Media Suara Warga Negara, silahkan klik https://suarawarganegara.wordpress.com/donasi-publik/

This entry was posted on August 19, 2013. 1 Comment

Prihatin, Acara Gila Makan Trans7

13577063881050644905

sumber foto: http://hiburan.kompasiana.com/televisi/2013/01/09/trans-7-televisi-paling-mendidik-di-indonesia-523788.html

Oleh: Firdaus Cahyadi

Minggu petang (18/8), penulis tanpa sengaja melihat Trans7. Pada petang itu stasiun televisi itu menayangkan acara Gila Makan. Dalam acara itu, ditampilkan lomba makan banyak oleh para peserta. Peserta yang berhasil makan paling banyak menjadi pemenangnya. Hadiahnya pun lumayan, uang jutaan rupiah. Tak kalah serunya, para peserta lomba makan banyak itu memiliki supporter para perempuan cantik.

Penulis prihatin melihat acara itu. Bagaimana tidak, di stasiun itu makan banyak dilombakan dengan hadiah jutaan rupiah, seakan tidak mempedulikan fakta di lapangan bahwa ada ribuan bahkan mungkin jutaan orang tidak bisa makan. Banyak diantara saudara-saudara kita yang tidur dengan perut kosong. Mereka mungkin hanya bisa makan sekali saja dalam sehari. Namun, di sisi lain di stasiun televisi Trans7, sikap berlebih-lebihan dalam mengkonsumsi makanan justru dilombakan dan dipertontonkan. Dan siapa yang bisa makan paling banyak mendapatkan hadiah jutaan rupiah.

Televisi telah menjadi media yang menyuguhkan tontonan yang tercerabut dari persoalan keseharian masyarakat. Banyak masyarakat yang tidak bisa makan, eh justru diberi tontonan lomba makan banyak. Ironis memang, namun itulah kenyataannya.  Apakah pemilik modal di stasiun itu peduli dengan baik-buruknya acara televisi yang ditayangkannya? Ataukah mereka hanya peduli pada rating acara yang akan mendatangkan iklan?

*******

Jika anda ingin melakukan donasi ke Media Suara Warga Negara silahkan klik di https://suarawarganegara.wordpress.com/donasi-publik/

This entry was posted on August 19, 2013. 6 Comments

Deklarasi Wiranto-HT dan Kemandirian Partai Politik

215625_hanura

sumber gambar: http://news.detik.com/read/2013/07/07/215531/2295018/10/menebak-deal-di-balik-deklarasi-pasangan-capres-wiranto-ht

Oleh Asri Al Jufri

Pada Selasa, 2 Juli 2013, Partai Hanura mendeklarasikan ketua umumnya, H. Wiranto sebagai calon presiden dan Hary Tanoesoedibjo (HT) sebagai calon wakil presiden dalam Pilpres 2014 nanti. Suatu langkah berani, tidak saja karena pendeklarasian itu jauh mendahului partai-partai lain, tak terkecuali partai besar seperti Partai Demokrat, PDIP, dan Partai Golkar, tetapi juga karena pasangan capres dan cawapres itu murni diambil dari internal partai.
Memang ada beberapa partai yang sudah menyebut calon presidennya meskipun belum melakukan pendeklarasian secara resmi, seperti Partai Golkar yang akan mencalonkan ketua umumnya Aburizal Bakrie, PDIP kemungkinan kembali mencalonkan Megawati Sukarnoputri, PAN akan mencalonkan Hatta Radjasa dll. Namun hingga kini kita belum tahu siapa cawapres yang akan mendampingi para capres itu. Malahan Partai Demokrat sebagai partai pemenang Pemilu 2009, hingga kini belum jelas siapa yang akan dijadikan capres, begitu pula cawapresnya. Bahkan para pengurus partai yang dipimpin Susilo Bambang Yudhoyono ini masih sibuk mendiskusikan mekanisme konvensi sebagai media penjaringan capres tersebut.
Dalam kondisi perpolitikan seperti ini, maka keputusan Partai Hanura yang mendeklarasikan capres dan cawapresnya sejak dini, dinilai oleh sebagian pihak sebagai langkah berani, kalau tidak bisa dianggap “nekad”. Sebab, perolehan suara Hanura pada Pemilu 2009 lalu hanya 3,7% dan menempati urutan terbawah dari sembilan partai yang masuk parlemen. Namun dengan perkembangan Hanura akhir-akhir ini, terutama setelah bergabungnya 10 partai politik non parlemen, serta bergabungnya pengusaha nasional Hary Tanoesoedibjo, telah melambungkan optimisme para elite partai ini. Mereka mempunyai harapan besar bahwa Hanura akan mampu meraih tambahan suara yang cukup signifikan, sehingga memungkinkan untuk mencalonkan presiden dan wakil presiden dari kader sendiri. Optimisme itu tampak dari target perolehan suara Hanura pada Pemilu 2014 yang dipatok 13,5%, yaitu masing-masing satu anggota DPR-RI dari 77 daerah pemilihan (dapil).
Dalam beberapa kesempatan, Ketua Umum Partai Hanura H. Wiranto mengungkapkan tekadnya untuk menjadikan partai ini sebagai partai terbesar ketiga pada Pemilu mendatang. Malahan Ketua Dewan Pertimbangan yang juga Ketua Badan Pemenangan Pemilu Partai Hanura Hary Tanoesoedibjo, justru menargetkan partainya menjadi partai pemenang.
Sudah tentu setiap partai mempunyai hak untuk menggantungkan harapan perolehan suara setinggi-tingginya. Namun hasil akhirnya akan sangat tergantung dari kerja-kerja politik yang dilakukan seluruh jajaran partai agar mampu merebut simpati para pemilih. Nah, apakah pendeklarasian Wiranto – HT ini merupakan bagian dari strategi Hanura dalam merebut simpati masyarakat sehingga mampu meraih target perolehan suara tersebut?

Strategi meraih dukungan
Terlepas dari sikap pesimis dan tudingan negatif dari sebagian pengamat, sudah tentu pendeklarasian capres dan cawapres Partai Hanura ini telah melalui perhitungan yang matang. Perhitungan itu terkait dengan target-target politik yang diharapkan, dimana dalam setiap kerja politik selalu memiliki target yang bersifat lentur, ada target ideal, target sedang dan target minimal. Target apapun yang dicapai, yang jelas harus memberikan nilai positif bagi kemajuan dan perkembangan partai ke depan.
Merujuk pada pencapresan Wiranto-HT, tampaknya ada beberapa dasar pertimbangan dari para elite partai ini:
Pertama, target minimal Partai Hanura bisa jadi lebih tertuju pada pada upaya mendongkrak elektabilitas Hanura. Sebab, Hanura sebagai partai kecil harus berupaya keras untuk meningkatkan perolehan suaranya pada Pemilu 2014. Karena itu, Hanura harus mempunyai produk yang bisa dijual. Berbeda dengan partai besar seperti Golkar, PDIP dan Partai Demokrat, yang cenderung menunggu hasil pemilu, baru menentukan capres-cawapres. Malahan partai kecil seperti Gerindra, PKB, dan PPP, serta partai pendatang baru Nasdem, juga menempuh langkah yang sama, menunggu hasil pemilu.
Khusus partai-partai besar, mereka cukup percaya diri untuk mampu meraih dukungan yang cukup besar, setidaknya mendekati hasil perolehan suara pada pemilu yang lalu. Karena itu bartai-partai besar ini tidak merasa perlu “menjual” capres apalagi cawapresnya dalam pemilu legislatif nanti. Malahan untuk figur cawapres sama sekali tidak dianggap penting dalam mendongkrak perolehan suara.

Pangalaman Partai Demokrat pada Pemilu lalu dengan menggandeng Boediono sebagai cawapres, membuktikan bahwa figur cawapres tidak dibutuhkan dalam menghimpun suara. Bukan saja yang digandeng adalah sosok yang tidak terlalu populer karena bukan pimpinan partai atau ormas, tetapi juga pendeklarasiannya baru dilakukan sebulan setelah pemilu legislatif. Dengan demikian sosok cawapres tidak terlibat dalam kampanye pemilu legislatif.
Bagi sebuah partai besar yang mempunyai banyak sumber daya, baik berupa ketokohan para pemimpinnya, jaringan organisasi yang solid, citra yang positif serta sember daya manusia (kader) dan dana yang melimpah, ditambah lagi dengan posisinya sebagai partai penguasa, tentu peran cawapres tidak terlalu dipentingkan dalam mendukung kampanye pemilu legislatif. Kondisinya agak berbeda dibandingkan dengan partai-partai kecil. Karena sumber dayanya terbatas, maka partai-partai kecil akan melakukan berbagai upaya dengan memanfaatkan segala potensi yang dimiliki untuk meraih suara sebanyak-banyaknya. Karena itu, figur capres dan cawapres tidak hanya dibutuhkan pada waktu pemilu Presiden (Pilpres) tetapi juga dibutuhkan sejak pemilu legislatif. Figur capres dan cawapres harus menjadi salah satu daya tarik dan mulai dikenalkan kepada masyarakat selama masa kampanye.
Itulah yang dicoba dilakukan Hanura dimana figur Wiranto dan terutama HT akan dimanfaatkan semaksimal mungkin dalam mendukung perolehan suara pada pemilu nanti. Bagi partai-partai kecil seperti Hanura, memang sudah seharusnya memanfaatkan semaksimal mungkin figur capres dan juga cawapresnya, dengan melibatkannya sejak pemilu legislatif. Sebab, hasil pemilu legislatif itu akan menjadi modal dalam menghadapi pemilu Presiden. Selama ini masyarakat sudah tidak asing lagi denagn figur Wiranto sebagai pendiri dan Ketua Umum Hanura. Namun dengan pendeklarasian ini masyarakt menjadi tau bahwa ada sesuatu yang baru di partai ini yaitu tampilnya sosok HT dengan segala potensi dan berbagai citra positif yang dimilikinya. Selain itu, tentu HT sendiri akan dilibatkan sejak awal dalam mengangkat citra partai termasuk peran aktifnya dalam kegiatan kampanye nanti.
Langkah seperti ini memang seharusnya dilakukan oleh semua partai terutama partai-partai kecil yaitu sejak awal sudah ada kejelasan mengenai siapa capres dan cawapresnya. Tentu capres dan cawapres itu harus dipilih figur yang memang mempunyai elektabilitas dan akseptabilitas yang tinggi. Partai-partai kecil itu seharusnya berani merangkul figur-figur yang sudah populer di masyarakat dan mendeklarasikannya sejak jauh hari sebagai capres dan atau cawapres.
Sayangnya banyak partai kecil yang kurang percaya diri untuk memunculkan calon sendiri. Mereka justru ingin menunggu perolehan suara pemilu legislatif, baru menentukan apakah ikut dalam pencalonan Presiden dan Wakil Presiden atau tidak. Mereka beralasan: “Pemilu legislatif saja belum tahu hasilnya, sudah mau mengajukan calon presiden”.
Logika itu tampaknya benar, tapi sebetulnya tersirat rasa kurang percaya diri dari para elite partai serta tidak adanya kemandirian parta dalam bersikap dan menentukan keputusan yang bersifat strategis tersebut. Akibatnya banyak partai yang lebih menonjolkan sifat pragmatis dari pimpinannya dengan “menggadaikan” partai kepada partai yang lebih besar dengan harapan bisa berkoalisi dan mendapatkan jatah kursi di kabinet. Mereka hanya menunggu waktu untuk mengincar mitra koalisi yang paling potensial guna memenuhi hasrat kekuasaan dari elite partai tersebut. Gejala ini tampaknya menjadi salah satu sisi negatif dari sistem kepartaian kita, dimana masing-masing partai sudah tidak ada bedanya. Tidak ada perbedaan prinsip yang diperjuangkan masing-masing partai. Akibatnya, fungsi partai tidak lebih hanya sekadar alat untuk mendapatkan kekuasaan.
Kedua, dengan pendeklarasian sejak dini, maka bagi figur capres dan terutama cawapres dalam hal ini HT, akan lebih fokus dan bersungguh-sungguh dalam mengemban tanggung jawab yang diberikan. Pelimpahan kepercayaan yang besar dari partai diharapkan akan diimbangi dengan rasa tanggung jawab yang besar pula. Lebih lagi secara struktural HT juga menduduki jabatan strategis di partai sebagai Ketua Badan Pemenangan Pemilu. Kalau misalnya penetapan cawapres itu baru dilakukan setelah pemilu, tentu keterlibatan HT tidak akan maksimal. Dan itu sangat wajar karena memang sikap seseorang akan ditentukan kepentingannya.
Bagi Hanura, seperti yang sering disinggung Wiranto, bergabungnya HT merupakan berkah tersendiri. Selain karena kesamaan visi, missi, serta dukungan dana dan fasilitas, sosok HT juga mewakili etnis minoritas, baik secara suku maupun agama. Hal tersebut penting untuk menunjukkan identitas Hanura sebagai partai terbuka dan mengakui kemajemukan. Tampaknya Hanura juga bercermin pada keberhasilan Jokowi dalam pemilihan Gubernur DKI Jakarta beberapa waktu lalu, dengan menggandeng Ahok sebagai calon wagub yang kebetulan berasal dari etnis minoritas.
Dengan pendeklarasian yang lebih awal, Hanura ingin menunjukkan sekaligus menawarkan alternatif kepada masyarakat terutama etnis monoritas, mengenai calon pemimpin masa depan. Hanura seolah ingin mempelopori munculnya pemimpin nasional dari golongan minoritas dalam hal ini etnis Tionghoa. Kalau upaya ini mampu meyakinkan masyarakat, tentu Hanura akan mendapat tambahan suara yang cukup berarti.
Ketiga, pendeklarasian ini juga menjadi bagian dari upaya konsolidasi organisasi dalam rangka membangun partai yang solid. Meski selama ini Partai Hanura di bawah kepemimpinan Wiranto sebagai founding father, tergolong cukup solid, namun dengan pendeklarasian ini diharapkan akan lebih memacu motivasi seluruh kader karena adanya arah pejuangan (gool) yang lebih jelas. Para kader terutama mereka yang mencalonkan diri sebagai anggota legislatif (caleg), tidak ragu lagi untuk menjadikan kedua figur ini sebagai jualan pada masa kampanye nanti. Hal tersebut tentu berbeda dengan partai yang hingga masa kampanye belum mempunyai capres dan cawapres. Karena bagimana pun pemilu legislatif tidak bisa dipisahkan dari pemilu Presiden. Kurang lengkap rasanya kalau hanya mengkampanyekan partai dan calon legislatif, tetapi belum jelas siapa capres dan cawapresnya.
Meski demikian, tidak tertutup kemungkinan pendeklarasian ini akan menimbulkan riak-riak perpecahan. Bagaimana pun dalam setiap pengambilan keputusan, apa lagi di sebuah partai politik, selalu ada pihak yang merasa dirugikan atau merasa terancam kepentingannya, tak terkecuali di Partai Hanura. Sebab, meskipun figur Wiranto sebagai pendiri masih memiliki peran yang dominan yang menjadi perekat di antara sesama kader, namun tidak semua kader legowo untuk menerima Ht dan gerbongnya, terutama mereka yang sudah terlibat di Hanura sejak awal. Kehadiran HT yang dalam waktu singkat sudah memberikan pengaruh yang begitu besar dinilai sebagai suatu pengistimewaan yang berlebihan. Kalau sikap resistensi sebagian kader itu tidak bisa di-manage dengan baik, tentu sangat potensial menimbulkan perpecahan.
Sikap pro dan kontra pasti selalu ada. Begitu pula dengan pendeklarasian Wiranto-HT. Namun terlepas dari semua pendapat yang muncul, keberanian Hanura patut dihargai. Pendeklarasian ini memberikan pembelajaran tentang kemandirian suatu partai. Meskipun hanya partai kecil dan tidak diperhitungkan, tetapi Hanura berani memunculkan calon sendiri dan mendeklarasikannya jauh sebelum pemilu.
Bagimana dengan kemungkinan koalisi. Ah, itu urusan nanti, setelah terbukti bahwa pihak lawanlah yang memenangkan pertarungan.

*) Penulis adalah Direktur Pusat Kajian Etika Politik Nafsiologi, dan praktisi corporate communications.

******

Jika ingin memberikan donasi ke Media Suara Warga Negara silahkan klik di https://suarawarganegara.wordpress.com/donasi-publik/

This entry was posted on August 19, 2013. 1 Comment

LSM, Follow The Money atau Follow The Heart?

follow_the_money_small-300x295

sumber gambar: http://jumpthecurve.net/unlearning/unlearning-lesson-18-dont-follow-the-money/

Oleh: M. Nurikbal, ST <nur(dot)ikbal19xxx(at)gmail(dot)com>

LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) adalah sebuah organisasi masyarakat sipil yang pernah menjadi ‘musuh’ rejim otoritarian Orde Baru. Organisasi itulah yang sering mengkritisi kebijakan Orde Baru disamping tentu saja organisasi mahasiswa. Maklum saja di era Orde Baru, pemerintah kerap memberangus suara-suara kritis. Organisasi masyarakat dan partai politik pun dikooptasi untuk selalu mendukung kebijakan pemerintah, terlepas kebijakan itu menguntungkan atau merugikan masyarakat. Situasi dan kondisi di era Orde Baru itulah membuat kehadiran LSM menjadi relevan dan diperlukan.

Waktu pun berlalu. Rejim otoritarian Orde Baru telah tumbang. Kran kebebasan dibuka. LSM yang dulunya sering melakukan kerja-kerja sosial ‘di bawah tanah’ mulai menampakan diri. Bahkan, seperti saudara kembarnya, pers, setelah Orde Baru tumbang, jumlah LSM pun bertambah. Isu yang digarap pun mulai beraneka ragam, dari isu Hak Asasi Manusia (HAM), Lingkungan Hidup, Perempuan, Demokrasi, dan pemberdayaan ekonomi.

Di awal-awal orde reformasi (setelah orde baru), banyak donor dari luar negeri yang mengucurkan uangnya kepada LSM-LSM di negeri ini. Maklum waktu itu adalah masa transisi. Perlu ada pengawalan agar negeri ini tidak kembali ke era otoritarian. Banyak regulasi yang terkait dengan hak kebebasan sipil dan politik (HAM Sipol) muncul atas desakan dan pengawalan dari LSM.  Uang dari donor pun digelontorkan ke isu yang terkait dengan kebebasan sipil dan politik.

Di sisi lain, sektor yang terkait dengan hak warga negara atas ekonomi, sosial dan budaya (ecosoc right) tidak begitu mendapatkan pengawalan kritis dari LSM. Akibatnya, lahirlah berbagai kebijakan negara di sektor sumberdaya ekonomi dan  alam yang mengamputasi peran negara dalam melindungi hak warga negara atas ekonomi, sosial dan budaya. Kebijakan ekonomi dan sumberdaya alam diserahkan ke mekanisme pasar bebas. Muncullah UU Migas, UU Sumberdaya Air, UU Telekomunikasi dsb. Semua UU tersebut memiliki semangat yang sama liberalisasi ekonomi.

Uang donor dari luar negeri bukan tidak dikucurkan untuk memunculkan UU tersebut. Bahkan, ada temuan sebagian UU yang membawa semangat liberalisasi ekonomi itu dibiayai oleh donor asing. Lembaga donor asing pun juga mengucurkan dananya ke LSM untuk mendesak pemerintah mengeluarkan kebijakan yang lebih liberal. Sementara LSM-LSM yang kritis terhadap proyek liberalisasi ekonomi tidak memiliki dana yang cukup untuk melawan arus liberalisasi yang dibawa oleh donor asing dan juga LSM-LSM komprador (meminjam istilah Munarman).

Setelah perundang-undangan di negeri ini sangat kondusif terhadap liberalisasi ekonomi dan pergerakan modal asing, para lembaga donor asing pun berlahan tapi pasti menarik diri dari negeri ini. Alasan yang selalu dikemukakannya adalah karena Indonesia sudah bukan lagi negara miskin, kelas menengah di masyarakatnya pun sudah mulai tumbuh. Entah kebetulan atau kesengajaan, alasan yang mereka kemukakan sama persis dengan indikator-indikator yang dikeluarkan oleh World Bank, sebuah lembaga internasional yang selama ini kerap mempromosikan liberalisasi ekonomi di seluruh penjuru dunia. Hingga muncul pertanyaan dari diri penulis, apakah lembaga-lembaga donor itu sebenarnya adalah juga kaki-tangan World Bank untuk proyek liberalisasi ekonomi?

Studi Kasus Pergerakan Uang dalam Isu Perubahan Iklim

Tidak semua lembaga donor hengkang dari Indonesia. Ada beberapa donor yang masih bertahan dan mengucurkan banyak uang. Biasanya lembaga donor itu hendak memastikan ‘keamanan’ kepentingan dari negara-negara maju di Indonesia.

Salah satu isu yang masih menarik lembaga donor asing adalah mitigasi (pengurangan) Gas Rumah Kaca (GRK) penyebab perubahan iklim. Dalam sebuah diskusi tentang isu perubahan iklim, terungkap bahwa dana mitigasi lebih berlimpah dibandingkan dana adaptasi perubahan iklim. Kenapa? Apakah mitigasi perubahan iklim lebih penting daripada adaptasi? Tidak keduanya sama-sama penting, bila kita melihatnya dari kacamata keselamatan masyarakat. Namun, bila kita melihatnya dari kacamata negara-negara maju, mitigasi perubahan iklim lebih penting.

Hal itu disebabkan karena dalam proyek mitigasi perubahan iklim ada potensi tukar guling karbon (carbon offset). Apa itu carbon offset? Sederhananya proyek carbon offset itu adalah membolehkan negara-negara maju untuk mencemari atmosfir dengan emisi GRK asal mereka membiayai proyek mitigasi GRK di negara berkembang, termasuk Indonesia. Salah satu proyek seksi mitigasi perubahan iklim di Indonesia adalah sektor kehutanan.

Bagaimana sikap LSM Indonesia? Ada cerita menarik mengenai sikap LSM-LSM Indonesia dalam isu perubahan iklim ini. Pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Perubahan Iklim di Bali tahun 2007 silam, hampir semua LSM (utamanya LSM Lingkungan Hidup) di Indonesia menolak skema carbon offset ini, termasuk di sektor kehutanan melalui proyek REDD ( Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation). LSM-LSM Lingkungan Hidup itu bukan tidak setuju proyek pelestarian hutan, namun yang mereka tidak setujui bila proyek pelesatrian hutan itu digunakan sebagai komoditi dari proyek carbon offset, pembenaran bagi negara maju untuk terus mencemari atmosfir dengan GRK.

Namun, seiring waktu, setelah KTT Perubahan Iklim di Bali usai, dana untuk proyek carbon offset pun mulai dikucurkan oleh lembaga-lembaga donor, baik kepada pemerintah maupun LSM (Ingat lembaga donor seringkali main di dua kaki). LSM-LSM Lingkungan Hidup yang pada KTT Perubahan Iklim di Bali menolak skema carbon offset pun mulai berguguran. Bahkan ada LSM yang dulu menolak, namun sekarang menjadi pendukung proyek carbon offset. Hanya sedikit LSM yang masih mempertahankan semangat perjuangannya yang tetap lantang bersuara menolak skema carbon offset. Celakanya, LSM-LSM seperti itu relatif miskin, sehingga program advokasinya kalah kuat dengan LSM-LSM pendukung proyek carbon offset.

Kini pertanyaan yang sering menghantui penulis adalah, apa yang dikejar oleh LSM Indonesia? Apakah mereka mengikuti kemanapun uang bergerak atau mengikuti suara hati masyarakat yang diperjuangkannya?

Memang tidak semua LSM menjadi pengejar uang. Masih ada LSM-LSM yang mempertahankan semangat perjuangannya, meskipun jumlahnya mungkin sangat sedikit. Semoga ini menjadi renungan para aktivis LSM di Indonesia.

****

Jika ingin melakukan donasi publik ke Media Suara Warga Negara silahkan klik https://suarawarganegara.wordpress.com/donasi-publik/

Melihat Korupsi dari Kacamata Orang Awam

stop-korupsi

sumber gambar: http://jogja.tribunnews.com/2013/08/13/ketua-mui-oku-selatan-tersangka-dana-calhaj

Oleh: Firdaus Cahyadi

Hari-hari ini kita dihebohkan dengan penangkapan Dr.Ir. Rudi Rubiandini,  Ketua Kepala Satuan Kerja Pelaksana Kegiatan Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas), oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Semua orang tidak menyangka jika Rudi, begitu ia akrab dipanggil, akan menjadi sasaran penangkapan KPK. “Ia orang baik,” kata beberapa koleganya seperti ditulis oleh media massa arus utama. Sebelumnya, kita juga terkejut saat Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS), sebuah partai yang berasaskan Islam, ditangkap KPK. Kenapa orang-orang yang kita presepsikan sebagai orang baik, akhirnya ditangkap KPK karena dituduh melakukan tindak pidana korupsi.

Sudah banyak para cerdik pandai menganalisa hal itu. Namun, penulis ingin melihat korupsi ini dari kacamata orang awam.

Fenomena korupsi yang menjerat ‘orang-orang baik’ di negeri ini bisa dianalogikan saat kita hendak melihat film misbar (gerimis bubar) di kampung. Pada saat melihat film misbar itu kita lebih dulu harus membeli karcis untuk masuk ke lokasi. Seringkali dalam memperoleh tiket masuknya tidak ada antrian. Orang saling berebut untuk dekat ke pintu loket agar mendapatkan tiketnya. Dalam hati kecil kita sebenarnya kita tidak nyaman dengan kondisi tersebut (membeli tiket tanpa sistem antrian). Namun, kalau kita tidak ikut berdesakan maka itu berarti kita tidak akan dapat tiket. Artinya, jika kita tidak ikut arus utama (membeli karcis dengan berdesak-deakan alias tanpa antrian) itu akan merugikan kita sendiri. Dan ikutlah kita berdesak-desakan untuk membeli tiket film misbar.

Hal yang sama juga terjadi dalam kasus korupsi di negeri ini. Banyak pejabat publik, baik eksekutif-legislatif-yudikatif, melakukan tindak korupsi. Kalau tidak ikut arus besar korupsi maka orang lain yang akan korupsi. Kita tetap miskin, dan orang lain yang kaya. Begitu pula bila korupsi itu digunakan untuk membiayai partai politik. Jika kita tidak korupsi maka aktivis/kader dari partai lain yang akan korupsi. Partai politik lain itu akan kaya dan berpotensi memenangi pemilu, sementara partai politik kita tetap miskin dan berpotensi besar kalah dalam pemilu. Singkat kata, seperti dalam kasus antrian karcis film misbar sebelumnya, jika tidak ikut arus utama korupsi maka justru akan merugikan kita sebagai individu atau kader partai politik. Akhirya, meskipun kita sebelumnya adalah orang baik, alim dan taat beragama, karena tuntutan untuk mengikuti arus utama maka jadilah kita ikut-ikutan korupsi, meskipun saat kita melakukannya itu hati kita menangis.

KPK sudah benar menangkap para koruptor. Tapi itu saja tentu tidak akan menyelesaikan persoalan korupsi di negeri ini. Arus besar yang membuat ‘orang-orang baik’ ikut-ikutan melakukan korupsi harus pula dibongkar. Pertanyaannya, apakah para cerdik pandai yang ada di perguruan tinggi, KPK, Kepolisian, Kejaksaan, Pemerintah dan DPR juga melihat dengan kacamata orang awam seperti ditulis dalam artikel ini?

***

Untuk donasi publik ke Media Suara Warga Negara silahkan klik https://suarawarganegara.wordpress.com/donasi-publik/

Membiayai Perubahan Iklim

kering

sumber foto: http://www.untan.ac.id/?p=271

Penulis: Muhamad Suhud <msuhudxxxx@gmail(dot)com>

Pemerintah Indonesia sudah berkomitmen untuk mengurangi emisi gas rumah kaca sebesar 26 persen pada tahun 2020 dengan biaya sendiri. Ini kira-kira sebesar 767 juta ton karbon dioksida. Komitmen tersebut bahkan sudah diperkuat dengan Peraturan Presiden No 61 tahun 2011 tentang Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAN GRK). Sebuah kajian yang baru saja dikeluarkan oleh Kementerian Keuangan dengan judul Kerangka Fiskal untuk Mitigasi Perubahan Iklim Indonesia tahun 2013 layak untuk diperhatikan. Cukupkah APBN kita untuk membiayai target penurunan emisi GRK yang diperkirakan membutuhkan biaya sebesar 83 triliun rupiah.

 

RAN GRK menyebutkan 50 aksi kegiatan yang diharapkan akan menghasilkan penurunan emisi karbon dioksida. Dalam anggaran tahun 2012, aksi-aksi kegiatan RAN GRK memperoleh pendanaan sekitar 15,9 triliun rupiah. Hasil kajian menyatakan bahwa jika realisasi pengeluaran biaya dipertahankan pada tingkat seperti saat ini sampai tahun 2020, maka penurunan emisi yang bisa dicapai hanya sekitar 15% (116 juta ton). Lalu bagaimana skenario untuk dapat mencapai target yang diharapkan. Bilamana pengeluaran untuk mitigasi perubahan iklim di APBN ditambahkan sesuai dengan pertumbuhan PDB maka hanya akan menambah penurunan sebesar 4% (31 juta ton). Lalu, langkah-langkah apa lagi yang harus dilakukan untuk mencapai target penurunan emisi ditengah ruang fiskal APBN yang terbatas.

 

Langkah pertama adalah meningkatkan efektivitas biaya dari aksi-aksi mitigasi yang tercantum di dalam RAN GRK. Hal ini akan mampu menambah target penurunan sebesar 10% (78 juta ton). Langkah berikutnya adalah memasukkan kegiatan pembangunan pembangkit listrik panas bumi  kedalam RAN GRK. Aksi mitigasi ini mampu menyumbang pencapaian target sebesar 14% (104 juta ton). Sedangkan melalui Inpres No.6 tahun 2013 yang melanjutkan penundaan pemberian izin baru (moratorium) hutan alam dan lahan gambut diharapkan akan berkontribusi kepada penurunan emisi sebesar 34% (260 juta ton). Dengan demikian tinggal 16% lagi penurunan emisi GRK yang harus dicapai melalui beberapa inisiatif baru. Hal ini dapat dilakukan oleh pelaku non-pemerintah atau dengan melakukan realokasi anggaran subsidi BBM yang secara bertahap akan dikurangi.

 

Beberapa prasyarat agar target penurunan emisi GRK tersebut dapat dicapai antara lain; pertama, perbaikan sistem penganggaran yang ada dengan merumuskan Skor Anggaran untuk mitigasi perubahan iklim. Tujuannya adalah agar dapat dihitung tingkat dan dampak dari pengeluaran biaya rupiah per ton emisi karbon dioksida yang berhasil diturunkan. Juga perlu dilengkapi dengan sistem pemantauan emisi GRK melalui Penganggaran Berbasis Kinerja.

 

Kedua, peningkatan kapasitas kelembagaan dalam menganalisis ”efektivitas biaya” dari aksi-aksi mitigasi perubahan iklim yang tercantum dalam Perpres 61/2011. Ini diperlukan agar sumber daya yang ada dapat digunakan seefektif mungkin.

 

Yang ketiga, Kementerian Keuangan perlu bekerja sama dengan kementerian-kementerian sektor terkait dalam mengembangkan modalitas baru yang dapat mengalihkan sebagian kebutuhan investasi untuk mitigasi perubahan iklim kepada sektor swasta dan masyarakat.

 

Apabila langkah langkah tersebut dapat dikerjakan dalam sisa waktu Kabinet SBY ini maka komitmen SBY saat berbicara di pertemuan G20 tahun 2009 untuk menurunkan emisi sebesar 26% secara sukarela dapat dibuktikan kepada dunia Internasional. Jadi, bukan sekedar pepesan kosong.

—0o0—

Untuk donasi publik ke Media Suara Warga Negara silahkan klik di https://suarawarganegara.wordpress.com/donasi-publik/

Tuan Presiden, Jangan Obral BUMN Indonesia!

cropped-indonesia-yang-terkoyak1.jpg

 

Oleh: Lena Herliana, S. Si, M.Si

Peneliti Ekonomi Alumni IPB Bogor

 

Fenomena privatisasi BUMN kian marak akhir-akhir ini. Alih-alih mencari tambahan modal sebagai upaya perluasan usaha, memberikan laba bagi APBN dan meningkatkan kinerja, BUMN malah ”go for sale”. Lihat saja kasus yang dialami oleh BUMN Krakatau Steel saat ini. Debat mengenai tidak proporsionalnya harga jual saham perdana (initial public offering, IPO) menjadi indikasi yang perlu dipertanyakan: apakah penjualan IPO memang diperuntukkan bagi pencarian modal investasi?

Dengan menetapkan harga IPO sebesar Rp 850 setiap lembar saham, ditengarai oleh sejumlah pengamat ekonomi dan keuangan merupakan nilai yang terlalu rendah dibandingkan harga jual saham yang yang dimiliki perusahaan yang sama di kawasan Asia, negara berpotensi mengalami kerugian melebihi kerugian negara akibat permasalahan Bank Century.

Menteri BUMN sendiri membantah dengan keras jika pemerintah telah melakukan penjualan saham terlalu murah. Sang menteri dengan tegas mengatakan bahwa tidak ada namanya potensi kerugian mengingat penentuan harga telah melalui proses kajian, sehingga tidak ada istilah harga terlalu rendah ataupun terlalu tinggi. Pertanyaannya kemudian adalah kajian apa yang digunakan dan atas asumsi apa kajian tersebut dilaksanakan? Kalangan umum hanya paham bahwa Indonesia hanya memiliki satu-satunya perusahaan negara yang bergerak di sektor baja. Apalagi guna mendukung pembangunan ekonomi, dukungan industri baja mutlak diperlukan.

Belum lama ini pemerintah juga pernah mengeluarkan pernyataan bahwa jumlah keberadaan BUMN yang diharapkan hanya tersisa sejumlah 78 BUMN saja di tahun 2014. Dengan didasarkan pada Inpres No 5/2008, pemerintah akan melakukan penciutan (right-sizing) BUMN secara bertahap dimulai dari tahun 2010. Perinciannya, dari total sejumlah 141 BUMN hingga saat ini, di akhir 2010 ditargetkan berkurang menjadi 117 perusahaan, hingga di tahun 2014 ditargetkan menjadi 78.

Upaya penciutan ini sesuai dengan Master Plan BUMN 2010-2014 yang menekankan perlunya upaya pembenahan BUMN-BUMN yang berpotensi merugikan negara. Program ini juga merupakan bagian dari implementasi lima peran BUMN yang ditetapkan pemerintah dalam perekonomian nasional, yakni mendorong pertumbuhan ekonomi, mengejar keuntungan, perintisan usaha, menjalankan fungsi Public Service Obligation (PSO) dan mendorong pengembangan usaha kecil dan menengah.

Namun, program ini menjadi rancu manakala penetapan jumlah BUMN yang ditargetkan berlangsung lebih awal dibandingkan dengan penilaian/kajian objektif ilmiah dan komprehensif yang dilakukan terhadap BUMN-BUMN yang ada.

Jika menoleh ke belakang, program penciutan BUMN telah marak dimulai semenjak terjadinya krisis ekonomi. Program yang ditujukan untuk mengurangi beban APBN karena kondisi perekonomian memburuk, menjadikan BUMN sebagai target perampingan.

Menurut Satf Ahli Kementrian Negara BUMN, Pandu Djajanto, perampingan atau penciutan BUMN dapat terdiri dari tiga jenis. Pertama, privatisasi, dimana pengelolaan lembaga BUMN akan seperti perusahaan-perusahaan swasta. Kedua, divestasi, yaitu pemerintah mengurangi kepemilikan saham dalam satu lembaga BUMN. Dan yang ketiga adalah likuidasi

Belum lama ini beberapa BUMN telah memasuki program privatisasi seperti PT Indosat, Bank Tabungan Negara (BTN), PT Perkebunan Nusantara (PTPN) III, IV dan VII, dan masih banyak lagi. Dan beberapa BUMN sedang dalam proses, seperti Garuda Indonesian Airways, dan Perusahaan Perkebunan.

Pertanyaannya kemudian adalah jika BUMN-BUMN yang masuk program penciutan, baik yang dilakukan melalui pola pembentukan holding, restrukturisasi, maupun likuidasi, dikategorikan sebagai BUMN-BUMN yang tidak atau belum bisa dikatakan berkinerja baik, apa dasar pembenaran dari BUMN-BUMN yang selama ini berjalan baik, namun tetap dimasukkan ke dalam program penciutan tadi?

Salah satu kriteria sebuah perusahaan berjalan baik jika neraca keuangan perusahaan tersebut memberikan profit, tidak merugi. Jika kembali ke daftar BUMN-BUMN tadi, sebut saja Bank Tabungan Negara (BTN). Bank ini mengalami privatisasi di tahun 2009. Pada saat itu perusahaan masih membukukan keuntungan. Namun dengan alasan mencari tambahan modal bagi pengembangan usaha, terutama untuk membantu pemerintah membangun rusuna (rumah susun sewa) 1000 tower, pemerintah melakukan pelepasan saham BTN kepada publik.

BTN selama ini telah memposisikan diri sebagai bank pembiayaan perumahan kepada lapisan masyarakat menengah ke bawah. Dengan menjadikan BTN menjadi perusahaan yang diprivatisasi, ini berarti bahwa BTN akan seperti perusahaan-perusahaan swasta pada umumnya, dimana pengelolaan akan ditentukan oleh manajemen, yang komposisinya pemerintah dan publik. Kontrol manajemen yang tidak pada satu kewenangan, menjadikan setiap kebijakan yang diambil oleh perusahaan harus merujuk pada keputusan pemerintah dan publik.

Walaupun porsi kepemilikan publik dalam BTN (27.08%) tidak sebesar pemerintah, namun orientasi perusahaan akan lebih tertuju ke profit. Memang hal ini tidak menyalahi kaidah umum perusahaan, tapi tidak menutup kemungkinan hal ini mengakibatkan perusahaan yang tadinya mengkhususkan pada usaha perkreditan rumah bagi kalangan menengah ke bawah, akan berganti orientasi manakala bisnis ini dianggap tidak mendukung.

Indikasi ke arah itu sudah mulai nampak, sampai detik ini, pembangunan rusuna sebagaimana telah ditetapkan oleh pemerintah tidak mencapai target. Siapa yang dirugikan? Tentu saja masyarakat kelas menengah-bawah yang berhak atas perumahan yang layak.

Usaha untuk membuat BUMN menjadi perusahaan yang efisien dan berdaya saing patutlah kita dukung bersama. Namun, perlu diingat pula bahwa para pendiri negara ini (founding father) merancang keberadaan BUMN bukan hanya untuk mencari untung samata namun juga membantu pemerintah dalam memenuhi dan melindungi hak-hak warganya. Jika pemerintah secara ugal-ugalan menjual BUMN maka pihak yang pertama dan paling utama dirugikan adalah warga negara.

 

Untuk donasi publik ke  media Suara Warga Negara silahkan klik di https://suarawarganegara.wordpress.com/donasi-publik/