Oleh: Firdaus Cahyadi
Akhirnya pemerintah mengeluarkan kebijakan mengenai mobil murah. Pada 1 juli 2013 pemerintah mengeluarkan Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 33 Tahun 2013 tentang Pengembangan Produksi Kendaraan Bermotor yang Hemat Energi dan Harga yang Terjangkau. Mobil itu kemudian disebut Low Cost Green Car (LCGC).
Munculnya kebijakan itu tentu saja mendapatkan dukungan dari Gabungan Asosiasi Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo). Pasalnya, dengan peraturan baru itu, industri otomotif dapat memproduksi LCGC tanpa harus dikenai pajak penjualan yang tinggi. Akibatnya, harga mobil ini akan semakin terjangkau bagi masyarakat. Dan hampir bisa dipastikan beberapa waktu yang akan datang jalan raya di kota-kota besar, khususnya Jakarta akan semakin dipenuhi oleh kendaraan bermotor.
Jakarta akan semakin macet total. Dan itu artinya pemborosan bahan bakar minyak (BBM) dan polusi udara. Meskipun ada pihak yang mengklaim bahwa LCGC adalah mobil yang hemat energi, tapi jika jumlahnya banyak akan tetap meningkatkan permintaan BBM. Begitu dan juga dengan klaim bahwa LCGC adalah mobil yang memiliki emisi rendah tidak menjamin akan membuat udara semakin bersih. Pasalnya, jika jumlahnya di jalanan banyak maka, jumlah polutan di udara juga akan tetap melebihi ambang batas yang bisa ditoleransi.
Alasan bahwa proyek mobil murah ini ditujukan di desa dan juga kota di luar Jakarta juga dipastikan akan meleset. Saat ini sedikitnya 70% uang di seluruh Indonesia masih berputar di Jakarta. Jadi konsumen dari mobil LCGC itu nantinya tetap saja akan didominasi oleh mereka yang tinggal dan bekerja di Jakarta.
Ketika mobil murah mulai memadati Jakarta itu artinya malapetaka bagi warga Jakarta. Sebelum LCGC menambah kemacetan jalan raya Jakarta, lalu lintas kota ini sudah macet parah. Dan warga kota lah yang menanggung semua kerugian akibat kemacetan lalu lintas itu.
Penelitian USAID pada tahun 2008 menyebutkan bahwa akibat kemacetan lalu lintas, kecepatan rata-rata lalu lintas di Jakarta hanya 20 km/jam. Itupun, kurang lebih 60% total waktu perjalanan dihabiskan di tengah kemacetan, dan hanya 40% total waktu tersebut yang digunakan untuk bergerak. Sementara bila dihitung, kerugian ekonomi akibat kemacetan mencapai Rp 27,76 trilyun.
Kerugian akibat kemacetan lalu lintas di Jakarta bukan hanya hilangnya waktu produktif namun juga polusi udara. Menurut data dari Komite Penghapusan Bensin Bertimbal (KPBB) menyebutkan bahwa tingkat polusi udara di Jakarta naik sekitar 30-40 persen dalam kurun waktu 2010-2012. Adapun biaya yang harus dibayar warga Jakarta karena polusi udara pada tahun 2010 berkisar Rp 38,5 trilyun. Biaya sebesar itu untuk pengobatan 6 jenis sakit/penyakit akibat pencemaran udara. Dan penyumbang terbesar kemacetan lalu lintas adalah penggunaan kendaraan bermotor pribadi.
Kemacetan lalu lintas yang dipicu oleh pertumbuhan kendaraan bermotor pribadi juga berimbas pada peningkatan konsumsi Bahan Bakar Minyak (BBM) di Jakarta. Data dari kementerian ESDM menyebutkan bahwa pada semester I tahun 2011saja wilayah yang mengkonsumsi BBM primium tertinggi adalah Provinsi DKI Jakarta.
Kehadiran mobil murah yang dipicu oleh peraturan menteri Perindustrian akan memperburuk kondisi lalu lintas di Jakarta. Pemerintah pusat dan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta pun dipastikan akan merespon semakin macetnya jalan raya itu dengan membangun jalan baru, baik berupa underpass, flyover, non tol maupu jalan tol dalam kota baru.
Meskipun pada saat kampanye pasangan Jokowi-Ahok menyatakan bahwa pembangunan jalan tol dalam kota adalah keliru, namun fakta di lapangan menunjukan, hingga tulisan ini dibuat Gubernur DKI Jakarta Jokowi belum pernah membatalkan rencana pembangunan enam ruas jalan tol dalam kota yang digagas gubernur sebelumnya.
Gubernur DKI Jakarta Jokowi hanya menunda pembangunan enam ruas jalan tol dalam kota. Artinya, jika momentumnya tepat rencana pembangunan enam ruas jalan tol dalam kota itu akan dilanjutkan. Dan makin macetnya jalan raya Jakarta dengan kehadiran mobil murah adalah momentum yang paling tepat untuk merealisasikan pembangunan enam ruas jalan tol dalam kota itu.
Celakanya, pembangunan jalan raya baru termasuk jalan tol dalam kota Jakarta justru akan semakin meningkatkan jumlah penggunaan kendaraan bermotor. Studi kelayakan pembangunan jalan tol dalam kota Jakarta (PT. Pembangunan Jaya, Mei 2005) menyebutkan bahwa setiap pertambahan jalan sepanjang 1 km di Jakarta akan selalu dibarengi dengan pertambahan kendaraan sebanyak 1923 mobil pribadi.
Kehadiran mobil murah dipastikan akan membuat warga Jakarta akan semakin menderita. Meraka akan semakin sering menghisap udara tercemar yang dari knalpot mobil-mobil yang memadati ibukota. Ironisnya, hal itu dipicu oleh kebijakan pemerintah yang seharusnya melindungi keselamatan warganya.
Kebijakan mobil murah yang dikeluarkan pemerintah jelas hanya menguntungkan industri otomotif, namun merugikan masyarakat. Alih-alih membebankan biaya kerusakan lingkungan yang ditimbulkan dari produksi per satu unit mobil, pemerintah justru membebaskan pajak penjualan bagi mobil tersebut. Di titik inilah kesesatan berpikir dari kebijakan mobil murah bermula.
Kesesatan berpikir pemerintah dalam kebijakan mobil murah itu harus dikoreksi. Pemerintah tidak perlu malu untuk mencabut Peraturan Menteri terkait dengan mobil murah itu. Keselamatan warga negara dari ancaman polusi udara lebih penting daripada kepentingan industri otomotif yang selalu ingin memaksimalkan laba. Untuk mengatasi kemacetan lalu lintas dan juga penghematan BBM, pemerintah lebih baik fokus pada pengembangan transportasi publik bukan mobil murah.
Petisi #savepublictransport, Batalkan Peraturan Mobil Murah!
http://www.change.org/id/petisi/presiden-sby-savepublictransport-batalkan-peraturan-mobil-murah