Archive | September 2014

(Take Action) Dukung Warga Manggarai Timur Melawan Tambang

cyber-activism

DUKUNG SERUAN AKSI. (Hingga Selasa,16 Sept). Puluhan ibu desa Tumbak itu akhirnya melakukan aksi tidur di jalan menuju Lingko Roga menghalangi alat berat tambang mangan PT Aditya yang dikawal puluhan polisi dan tentara Manggarai Timur. Beberapa mereka terpaksa membuka bajunya, menghalangi perusahaan dan aparat keamaan menerobos aksi mereka.

Sejak 9 September 2014, masyarakat desa tumbak yang menolak tambang itu menduduki lokasi perbatasan Lingko Roga. Lingko sebutan untuk wilayah adat. Mereka menuntut penghentian pertambangan, yang alat-alat beratnya mulai berdatangan di sana. Perusahaan mulai mengalirkan air untuk melakukan pengeboran pada 3 titik yang jaraknya berdekatan dengan sawah dan mata air. Mereka berencana melakukan upacara adat agar dibiarkan mengebor, tapi warga menolak. Polisi dan tentara Koramil 05 Pota dan Koramil Reo dikerahkan untuk mengawal masuknya alat berat tersebut. Tentara juga memancing kemarahan warga dengan mengejar pastor JPIC SVD yang mendampingi aksi. Hingga kini warga masih menduduki lokasi. Mereka membutuhkan dukungan, agar aparat keamanan tidak melakukan kekerasan, dan perusahaan pergi dari situ.
DUKUNG aksi ibu-ibu dan warga desa Tumbak. dengan mengirim sms: “Kami dukung warga Tumbak menolak tambang PT Aditya. Hentikan mengawal alat berat perusahaan, apalagi menakut nakuti warga. Jangan lagi menambah daftar pelanggaran HAM oleh Polisi dan tentara. Jadilah pelindung rakyat.”, (Nama, Kota asal. Tujukan kepada kepada Kapolda NTT (hp 0811386899), Kapolres Manggarai Timur (hp 081246620944), Dandim Ruteng (hp 081323505209). Mohon sebarkan seluas-luasnya.

Serambi Kiri: Penyakit Menular itu Bernama, Hedonis!

Seorang pasangan artis mancanegara dikabarkan sedang berbulan madu. Dalam bulan madunya pasangan artis itu mengeluarkan uang jutaan poundsterling. Uang itu digunakan hanya untuk membayar penduduk di suatu pulau agar meninggalkan pulau tersebut, karena pulau tersebut akan digunakan untuk bulan madunya. Keterlaluan!

Itulah gaya hidup Hedonis, sebuah gaya hidup yang mendewakan kemewahan tanpa peduli orang lainnya berkubang dalam kemiskinan dan ketertindasan.

Ternyata gaya hidup hedonis juga menular ke Indonesia. Seorang artis di Indonesia dikabarkan menghabiskan puluah juta rupiah untuk membeli sepasang sepatu. Celakaya, sepatu itu hanya dipakai sekali saja.

Bayangkan di tengah masyarakat yang kesulitan ekonomi, justru sebagian dari masyarakatnya menghamburkan uang untuk hal-hal yang tidak substansial. Penyakit gaya hidup hedonis itu bukan hanya menular kepada artis Indonesia saja, namun juga kepada politisi.

Untuk sebuah pencitraan, seorang politisi partai politik dan juga aktivis partai politik itu bisa melakukan korupsi. Baru-baru ini Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyatakan seorang menteri di kabinet Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menjadi tersangka korupsi. Korupsi itu menurut KPK digunakan salah satunya untuk biaya pencitraan dirinya.

Gaya hidup hedonis tampak jelas pada pemilihan presiden 201 4 lalu. Biaya iklan pencitraan masing-masing capres di media massa, seperti ditulis oleh www.iklancapres.org, telah mencapai puluhan juta. Itu pun belaja iklan di media online tidak dihitung, dan yang dihitung hanya di lima kota di Indonesia saja.

Gaya hidup hedonis itu mencerminkan masyarakat kita. Masyarakat kita dididik dengan ‘pendidikan’ kapitalisme yang mendewakan uang dan kemewahan. Penyakit menular berupa gaya hidup hedonis dan korupsi adalah anak kandung dari kapitalisme. Untuk menghentikannya maka pendidikan kapitalisme di masyarakat kita harus dihancurkan, sehancur-hancurnya.

Media Massa Mainstream dan Negeri yang Buta dan Tuli

Persoalan Bahan Bakar Minyak (BBM) kembali mengemuka akhir-akhir ini. Sebagian besar media massa mainstream (arus utama) ‘mendesak’ pemerintah mengambil keputusan untuk menaikan harga BBM. Berbagai analisis dan berita diturunkan dengan framing (kerangka) berita bahwa kenaikan harga BBM adalah sebuah keniscayaan. Tidak ada pilihan lain selain menaikan harga BBM.  Framing lainnya yang dibentuk oleh media massa mainstream itu adalah bahwa subsidi BBM salah sasaran. Hanya dinikmati oleh orang-orang kaya yang memiliki mobil pribadi.

Media Massa mainstream itu seperti menutup mata bahwa kenaikan harga BBM akan berdampak pada kenaikan harga barang-barang lainnya. Media Massa mainstream pendukung kenaikan harga BBM membutakan diri, bahwa kenaikan harga BBM Rp.1000 saja di Jawa akan membuat kenaikan BBM dan harga barang lainnya di Papua menjadi berlipat-lipat.
Anehnya, jika pertimbangannya bahwa subsidi BBM tidak tepat sasaran, media massa besar tidak secara keras, seperti ketika mereka mengkritik subsidi BBM sekarang, ketika pemerintah memberikan keringanan pajak pada proyek mobil murah yang masih menggunakan BBM. Media massa mainstream juga seakan kehilangan sikap kritisnya ketika pemerintah lebih memilih membangun infrastruktur transportasi pro-kendaraan bermotor pribadi daripada transportasi massal. Mereka seakan bungkam ketika ada rencana pembangunan 6 jalan tol dalam kota, jembatan selat sunda, jembatan madura. Padahal pembangunan jalan raya selalu berdampak pada kenaikan jumlah pengguna kendaraan bermotor pribadi. Yang artinya menambah konsumsi BBM.

Siapa yang menguasai media dialah yang menguasai wacana publik. Dan wacana publik itu kemudian yang dijadikan refrensi dari pengambilan kebijakan pembangunan. Itulah yang terjadi di negeri kita saat ini. Dalam persoalan kenaikan harga BBM nampaknya kepentingan rakyat jelata yang akan terkena dampak buruk kenaikan BBM terlupakan.
Situasi semacam itu nampaknya dipahami betul oleh para politisi. Hal itu nampak dari biaya iklan politik mereka pada saat pemilihan presiden (pilpres) lalu. Menurut web http://www.iklancapres.org, belanja iklan mereka di media mainstream, yang hanya di lima kota (Medan, Jakarta, Surabaya, Makassar dan Banjarmasin) mencapai Rp123,54 miliar.

Jika sudah demikian rakyat jelata yang tidak memiliki banyak uang untuk ‘membeli’ iklan di media hanya akan menjadi penonton di negeri ini. Jika sudah demikian, Negeri ini pun bukan saja tanpa telinga tapi juga tanpa mata.