Melihat Korupsi dari Kacamata Orang Awam

stop-korupsi

sumber gambar: http://jogja.tribunnews.com/2013/08/13/ketua-mui-oku-selatan-tersangka-dana-calhaj

Oleh: Firdaus Cahyadi

Hari-hari ini kita dihebohkan dengan penangkapan Dr.Ir. Rudi Rubiandini,  Ketua Kepala Satuan Kerja Pelaksana Kegiatan Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas), oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Semua orang tidak menyangka jika Rudi, begitu ia akrab dipanggil, akan menjadi sasaran penangkapan KPK. “Ia orang baik,” kata beberapa koleganya seperti ditulis oleh media massa arus utama. Sebelumnya, kita juga terkejut saat Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS), sebuah partai yang berasaskan Islam, ditangkap KPK. Kenapa orang-orang yang kita presepsikan sebagai orang baik, akhirnya ditangkap KPK karena dituduh melakukan tindak pidana korupsi.

Sudah banyak para cerdik pandai menganalisa hal itu. Namun, penulis ingin melihat korupsi ini dari kacamata orang awam.

Fenomena korupsi yang menjerat ‘orang-orang baik’ di negeri ini bisa dianalogikan saat kita hendak melihat film misbar (gerimis bubar) di kampung. Pada saat melihat film misbar itu kita lebih dulu harus membeli karcis untuk masuk ke lokasi. Seringkali dalam memperoleh tiket masuknya tidak ada antrian. Orang saling berebut untuk dekat ke pintu loket agar mendapatkan tiketnya. Dalam hati kecil kita sebenarnya kita tidak nyaman dengan kondisi tersebut (membeli tiket tanpa sistem antrian). Namun, kalau kita tidak ikut berdesakan maka itu berarti kita tidak akan dapat tiket. Artinya, jika kita tidak ikut arus utama (membeli karcis dengan berdesak-deakan alias tanpa antrian) itu akan merugikan kita sendiri. Dan ikutlah kita berdesak-desakan untuk membeli tiket film misbar.

Hal yang sama juga terjadi dalam kasus korupsi di negeri ini. Banyak pejabat publik, baik eksekutif-legislatif-yudikatif, melakukan tindak korupsi. Kalau tidak ikut arus besar korupsi maka orang lain yang akan korupsi. Kita tetap miskin, dan orang lain yang kaya. Begitu pula bila korupsi itu digunakan untuk membiayai partai politik. Jika kita tidak korupsi maka aktivis/kader dari partai lain yang akan korupsi. Partai politik lain itu akan kaya dan berpotensi memenangi pemilu, sementara partai politik kita tetap miskin dan berpotensi besar kalah dalam pemilu. Singkat kata, seperti dalam kasus antrian karcis film misbar sebelumnya, jika tidak ikut arus utama korupsi maka justru akan merugikan kita sebagai individu atau kader partai politik. Akhirya, meskipun kita sebelumnya adalah orang baik, alim dan taat beragama, karena tuntutan untuk mengikuti arus utama maka jadilah kita ikut-ikutan korupsi, meskipun saat kita melakukannya itu hati kita menangis.

KPK sudah benar menangkap para koruptor. Tapi itu saja tentu tidak akan menyelesaikan persoalan korupsi di negeri ini. Arus besar yang membuat ‘orang-orang baik’ ikut-ikutan melakukan korupsi harus pula dibongkar. Pertanyaannya, apakah para cerdik pandai yang ada di perguruan tinggi, KPK, Kepolisian, Kejaksaan, Pemerintah dan DPR juga melihat dengan kacamata orang awam seperti ditulis dalam artikel ini?

***

Untuk donasi publik ke Media Suara Warga Negara silahkan klik https://suarawarganegara.wordpress.com/donasi-publik/

Leave a comment