Deklarasi Wiranto-HT dan Kemandirian Partai Politik

215625_hanura

sumber gambar: http://news.detik.com/read/2013/07/07/215531/2295018/10/menebak-deal-di-balik-deklarasi-pasangan-capres-wiranto-ht

Oleh Asri Al Jufri

Pada Selasa, 2 Juli 2013, Partai Hanura mendeklarasikan ketua umumnya, H. Wiranto sebagai calon presiden dan Hary Tanoesoedibjo (HT) sebagai calon wakil presiden dalam Pilpres 2014 nanti. Suatu langkah berani, tidak saja karena pendeklarasian itu jauh mendahului partai-partai lain, tak terkecuali partai besar seperti Partai Demokrat, PDIP, dan Partai Golkar, tetapi juga karena pasangan capres dan cawapres itu murni diambil dari internal partai.
Memang ada beberapa partai yang sudah menyebut calon presidennya meskipun belum melakukan pendeklarasian secara resmi, seperti Partai Golkar yang akan mencalonkan ketua umumnya Aburizal Bakrie, PDIP kemungkinan kembali mencalonkan Megawati Sukarnoputri, PAN akan mencalonkan Hatta Radjasa dll. Namun hingga kini kita belum tahu siapa cawapres yang akan mendampingi para capres itu. Malahan Partai Demokrat sebagai partai pemenang Pemilu 2009, hingga kini belum jelas siapa yang akan dijadikan capres, begitu pula cawapresnya. Bahkan para pengurus partai yang dipimpin Susilo Bambang Yudhoyono ini masih sibuk mendiskusikan mekanisme konvensi sebagai media penjaringan capres tersebut.
Dalam kondisi perpolitikan seperti ini, maka keputusan Partai Hanura yang mendeklarasikan capres dan cawapresnya sejak dini, dinilai oleh sebagian pihak sebagai langkah berani, kalau tidak bisa dianggap “nekad”. Sebab, perolehan suara Hanura pada Pemilu 2009 lalu hanya 3,7% dan menempati urutan terbawah dari sembilan partai yang masuk parlemen. Namun dengan perkembangan Hanura akhir-akhir ini, terutama setelah bergabungnya 10 partai politik non parlemen, serta bergabungnya pengusaha nasional Hary Tanoesoedibjo, telah melambungkan optimisme para elite partai ini. Mereka mempunyai harapan besar bahwa Hanura akan mampu meraih tambahan suara yang cukup signifikan, sehingga memungkinkan untuk mencalonkan presiden dan wakil presiden dari kader sendiri. Optimisme itu tampak dari target perolehan suara Hanura pada Pemilu 2014 yang dipatok 13,5%, yaitu masing-masing satu anggota DPR-RI dari 77 daerah pemilihan (dapil).
Dalam beberapa kesempatan, Ketua Umum Partai Hanura H. Wiranto mengungkapkan tekadnya untuk menjadikan partai ini sebagai partai terbesar ketiga pada Pemilu mendatang. Malahan Ketua Dewan Pertimbangan yang juga Ketua Badan Pemenangan Pemilu Partai Hanura Hary Tanoesoedibjo, justru menargetkan partainya menjadi partai pemenang.
Sudah tentu setiap partai mempunyai hak untuk menggantungkan harapan perolehan suara setinggi-tingginya. Namun hasil akhirnya akan sangat tergantung dari kerja-kerja politik yang dilakukan seluruh jajaran partai agar mampu merebut simpati para pemilih. Nah, apakah pendeklarasian Wiranto – HT ini merupakan bagian dari strategi Hanura dalam merebut simpati masyarakat sehingga mampu meraih target perolehan suara tersebut?

Strategi meraih dukungan
Terlepas dari sikap pesimis dan tudingan negatif dari sebagian pengamat, sudah tentu pendeklarasian capres dan cawapres Partai Hanura ini telah melalui perhitungan yang matang. Perhitungan itu terkait dengan target-target politik yang diharapkan, dimana dalam setiap kerja politik selalu memiliki target yang bersifat lentur, ada target ideal, target sedang dan target minimal. Target apapun yang dicapai, yang jelas harus memberikan nilai positif bagi kemajuan dan perkembangan partai ke depan.
Merujuk pada pencapresan Wiranto-HT, tampaknya ada beberapa dasar pertimbangan dari para elite partai ini:
Pertama, target minimal Partai Hanura bisa jadi lebih tertuju pada pada upaya mendongkrak elektabilitas Hanura. Sebab, Hanura sebagai partai kecil harus berupaya keras untuk meningkatkan perolehan suaranya pada Pemilu 2014. Karena itu, Hanura harus mempunyai produk yang bisa dijual. Berbeda dengan partai besar seperti Golkar, PDIP dan Partai Demokrat, yang cenderung menunggu hasil pemilu, baru menentukan capres-cawapres. Malahan partai kecil seperti Gerindra, PKB, dan PPP, serta partai pendatang baru Nasdem, juga menempuh langkah yang sama, menunggu hasil pemilu.
Khusus partai-partai besar, mereka cukup percaya diri untuk mampu meraih dukungan yang cukup besar, setidaknya mendekati hasil perolehan suara pada pemilu yang lalu. Karena itu bartai-partai besar ini tidak merasa perlu “menjual” capres apalagi cawapresnya dalam pemilu legislatif nanti. Malahan untuk figur cawapres sama sekali tidak dianggap penting dalam mendongkrak perolehan suara.

Pangalaman Partai Demokrat pada Pemilu lalu dengan menggandeng Boediono sebagai cawapres, membuktikan bahwa figur cawapres tidak dibutuhkan dalam menghimpun suara. Bukan saja yang digandeng adalah sosok yang tidak terlalu populer karena bukan pimpinan partai atau ormas, tetapi juga pendeklarasiannya baru dilakukan sebulan setelah pemilu legislatif. Dengan demikian sosok cawapres tidak terlibat dalam kampanye pemilu legislatif.
Bagi sebuah partai besar yang mempunyai banyak sumber daya, baik berupa ketokohan para pemimpinnya, jaringan organisasi yang solid, citra yang positif serta sember daya manusia (kader) dan dana yang melimpah, ditambah lagi dengan posisinya sebagai partai penguasa, tentu peran cawapres tidak terlalu dipentingkan dalam mendukung kampanye pemilu legislatif. Kondisinya agak berbeda dibandingkan dengan partai-partai kecil. Karena sumber dayanya terbatas, maka partai-partai kecil akan melakukan berbagai upaya dengan memanfaatkan segala potensi yang dimiliki untuk meraih suara sebanyak-banyaknya. Karena itu, figur capres dan cawapres tidak hanya dibutuhkan pada waktu pemilu Presiden (Pilpres) tetapi juga dibutuhkan sejak pemilu legislatif. Figur capres dan cawapres harus menjadi salah satu daya tarik dan mulai dikenalkan kepada masyarakat selama masa kampanye.
Itulah yang dicoba dilakukan Hanura dimana figur Wiranto dan terutama HT akan dimanfaatkan semaksimal mungkin dalam mendukung perolehan suara pada pemilu nanti. Bagi partai-partai kecil seperti Hanura, memang sudah seharusnya memanfaatkan semaksimal mungkin figur capres dan juga cawapresnya, dengan melibatkannya sejak pemilu legislatif. Sebab, hasil pemilu legislatif itu akan menjadi modal dalam menghadapi pemilu Presiden. Selama ini masyarakat sudah tidak asing lagi denagn figur Wiranto sebagai pendiri dan Ketua Umum Hanura. Namun dengan pendeklarasian ini masyarakt menjadi tau bahwa ada sesuatu yang baru di partai ini yaitu tampilnya sosok HT dengan segala potensi dan berbagai citra positif yang dimilikinya. Selain itu, tentu HT sendiri akan dilibatkan sejak awal dalam mengangkat citra partai termasuk peran aktifnya dalam kegiatan kampanye nanti.
Langkah seperti ini memang seharusnya dilakukan oleh semua partai terutama partai-partai kecil yaitu sejak awal sudah ada kejelasan mengenai siapa capres dan cawapresnya. Tentu capres dan cawapres itu harus dipilih figur yang memang mempunyai elektabilitas dan akseptabilitas yang tinggi. Partai-partai kecil itu seharusnya berani merangkul figur-figur yang sudah populer di masyarakat dan mendeklarasikannya sejak jauh hari sebagai capres dan atau cawapres.
Sayangnya banyak partai kecil yang kurang percaya diri untuk memunculkan calon sendiri. Mereka justru ingin menunggu perolehan suara pemilu legislatif, baru menentukan apakah ikut dalam pencalonan Presiden dan Wakil Presiden atau tidak. Mereka beralasan: “Pemilu legislatif saja belum tahu hasilnya, sudah mau mengajukan calon presiden”.
Logika itu tampaknya benar, tapi sebetulnya tersirat rasa kurang percaya diri dari para elite partai serta tidak adanya kemandirian parta dalam bersikap dan menentukan keputusan yang bersifat strategis tersebut. Akibatnya banyak partai yang lebih menonjolkan sifat pragmatis dari pimpinannya dengan “menggadaikan” partai kepada partai yang lebih besar dengan harapan bisa berkoalisi dan mendapatkan jatah kursi di kabinet. Mereka hanya menunggu waktu untuk mengincar mitra koalisi yang paling potensial guna memenuhi hasrat kekuasaan dari elite partai tersebut. Gejala ini tampaknya menjadi salah satu sisi negatif dari sistem kepartaian kita, dimana masing-masing partai sudah tidak ada bedanya. Tidak ada perbedaan prinsip yang diperjuangkan masing-masing partai. Akibatnya, fungsi partai tidak lebih hanya sekadar alat untuk mendapatkan kekuasaan.
Kedua, dengan pendeklarasian sejak dini, maka bagi figur capres dan terutama cawapres dalam hal ini HT, akan lebih fokus dan bersungguh-sungguh dalam mengemban tanggung jawab yang diberikan. Pelimpahan kepercayaan yang besar dari partai diharapkan akan diimbangi dengan rasa tanggung jawab yang besar pula. Lebih lagi secara struktural HT juga menduduki jabatan strategis di partai sebagai Ketua Badan Pemenangan Pemilu. Kalau misalnya penetapan cawapres itu baru dilakukan setelah pemilu, tentu keterlibatan HT tidak akan maksimal. Dan itu sangat wajar karena memang sikap seseorang akan ditentukan kepentingannya.
Bagi Hanura, seperti yang sering disinggung Wiranto, bergabungnya HT merupakan berkah tersendiri. Selain karena kesamaan visi, missi, serta dukungan dana dan fasilitas, sosok HT juga mewakili etnis minoritas, baik secara suku maupun agama. Hal tersebut penting untuk menunjukkan identitas Hanura sebagai partai terbuka dan mengakui kemajemukan. Tampaknya Hanura juga bercermin pada keberhasilan Jokowi dalam pemilihan Gubernur DKI Jakarta beberapa waktu lalu, dengan menggandeng Ahok sebagai calon wagub yang kebetulan berasal dari etnis minoritas.
Dengan pendeklarasian yang lebih awal, Hanura ingin menunjukkan sekaligus menawarkan alternatif kepada masyarakat terutama etnis monoritas, mengenai calon pemimpin masa depan. Hanura seolah ingin mempelopori munculnya pemimpin nasional dari golongan minoritas dalam hal ini etnis Tionghoa. Kalau upaya ini mampu meyakinkan masyarakat, tentu Hanura akan mendapat tambahan suara yang cukup berarti.
Ketiga, pendeklarasian ini juga menjadi bagian dari upaya konsolidasi organisasi dalam rangka membangun partai yang solid. Meski selama ini Partai Hanura di bawah kepemimpinan Wiranto sebagai founding father, tergolong cukup solid, namun dengan pendeklarasian ini diharapkan akan lebih memacu motivasi seluruh kader karena adanya arah pejuangan (gool) yang lebih jelas. Para kader terutama mereka yang mencalonkan diri sebagai anggota legislatif (caleg), tidak ragu lagi untuk menjadikan kedua figur ini sebagai jualan pada masa kampanye nanti. Hal tersebut tentu berbeda dengan partai yang hingga masa kampanye belum mempunyai capres dan cawapres. Karena bagimana pun pemilu legislatif tidak bisa dipisahkan dari pemilu Presiden. Kurang lengkap rasanya kalau hanya mengkampanyekan partai dan calon legislatif, tetapi belum jelas siapa capres dan cawapresnya.
Meski demikian, tidak tertutup kemungkinan pendeklarasian ini akan menimbulkan riak-riak perpecahan. Bagaimana pun dalam setiap pengambilan keputusan, apa lagi di sebuah partai politik, selalu ada pihak yang merasa dirugikan atau merasa terancam kepentingannya, tak terkecuali di Partai Hanura. Sebab, meskipun figur Wiranto sebagai pendiri masih memiliki peran yang dominan yang menjadi perekat di antara sesama kader, namun tidak semua kader legowo untuk menerima Ht dan gerbongnya, terutama mereka yang sudah terlibat di Hanura sejak awal. Kehadiran HT yang dalam waktu singkat sudah memberikan pengaruh yang begitu besar dinilai sebagai suatu pengistimewaan yang berlebihan. Kalau sikap resistensi sebagian kader itu tidak bisa di-manage dengan baik, tentu sangat potensial menimbulkan perpecahan.
Sikap pro dan kontra pasti selalu ada. Begitu pula dengan pendeklarasian Wiranto-HT. Namun terlepas dari semua pendapat yang muncul, keberanian Hanura patut dihargai. Pendeklarasian ini memberikan pembelajaran tentang kemandirian suatu partai. Meskipun hanya partai kecil dan tidak diperhitungkan, tetapi Hanura berani memunculkan calon sendiri dan mendeklarasikannya jauh sebelum pemilu.
Bagimana dengan kemungkinan koalisi. Ah, itu urusan nanti, setelah terbukti bahwa pihak lawanlah yang memenangkan pertarungan.

*) Penulis adalah Direktur Pusat Kajian Etika Politik Nafsiologi, dan praktisi corporate communications.

******

Jika ingin memberikan donasi ke Media Suara Warga Negara silahkan klik di https://suarawarganegara.wordpress.com/donasi-publik/

One thought on “Deklarasi Wiranto-HT dan Kemandirian Partai Politik

  1. Pingback: Soal Pencapresan Wiranto dan HT (Tanggapan tulisan Asri Al Jufri) | Suara Warga Negara

Leave a comment